Mentalitas Sosial, Saling-Percaya dan Solidaritas


Hingga menjelang akhir tahun 2010 Indonesia masih sarat dengan perilaku menyimpang. Media massa sarat dengan berita tentang penyimpangan-penyimpangan sosial dalam bentuk kekerasan, pelecehan, korupsi, tindakan ‘main hakim sendiri’, pencurian dan perampokan dalam berbagai lapisan masyarakat secara individual dan kolektif. Dalam konteks Indonesia kini, rentetan perilaku menyimpang itu dapat digolongkan patologi sosial sebab sudah menggerogoti tatanan sosial yang melahirkan ancaman disintegrasi sosial. Ada kecenderungan mempersepsi perilaku menyimpang sebagai perilaku ‘biasa’ (banal) dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Dalam literatur psikologi, perilaku menyimpang semacam ini dikenal dengan istilah gangguan psikologis minor yaitu penyimpangan perilaku yang cenderung dianggap wajar karena banyak dilakukan dalam masyarakat sebagai reaksi dari kondisi stres dan frustasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dan budaya tertentu (Wen-Shing Tseng & Jing Hsu dalam Triandis & Draguns (ed.), 1980:61-97).
Beberapa simtom umum gangguan psikologis minor banyak tampil di Indonesia. Kita temukan perilaku-perilaku menyimpang yang berkaitan dengan keyakinan religius tertentu seperti tindakan agresif yang didasari oleh dorongan untuk membela keyakinan seperti perkelahian massal yang memakan korban jiwa dan teror dengan bom. Hampir setiap hari kita saksikan dalam acara-acara berita kriminal di televisi penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan seksual yang didasari oleh gangguan psikoseksual seperti pemerkosaan yang dilakukan seorang terhadap anak gadisnya. Perilaku agresif yang brutal dan spontan seperti membunuh kawan sendiri tanpa alasan yang jelas dan mengamuk karena merasa terhina ditatap orang lain, bahkan membunuh anak sendiri karena alasan kemiskinan atau frustrasi.
Berakar Pada Budaya, Diperkuat Praktek Sosial
Sudah banyak yang mendeteksi bahwa pesoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia kini memiliki kompleksitas yang tinggi serta punya akar sejarah yang dalam dan panjang. Apa yang terjadi di masa lalu tak begitu saja hilang jejaknya di masa kini. Membongkar persoalan sosial masa kini berarti juga membongkar sejarah masa lalu.



Kepribadian manusia Indonesia adalah produk dari masa lalu kehidupan masa kini yang berinteraksi dengan masa lalu dan harapan di masa depan. Artinya, kerpibadian manusia juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, baik di masa kini maupun masa lalu.
Faktor sosial dan budaya dalam kepribadian manusia dapat digali dari ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) dalam kepribadian manusia yang menampung bekas-bekas ingatan laten warisan masa lampau leluhurnya (Jung, 1953). Di sana dapat ditemukan arkhetipe, ide-ide yang diturunkan oleh nenek-moyang manusia yang sangat penting dan besar pengaruhnya terutama terhadap perkembangan sejarah manusia. Arkhetipe menjadi aktif dengan dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang secara emosional membangkitkan ingatan akan ide-ide yang dikandungnya. Secara umum, adaarkhetipe yang mendukung nilai-nilai sosial seperti ide tentang kepahlawanan, kerja sama, kebijaksanaan, peduli pada orang lain dan sejenisnya. Ada juga arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial seperti penyelesaian masalah dengan agresi, perasaan terancam, mementingkan diri sendiri, menjajah, menindas dan sebagainya.
Sejarah Indonesia menunjukkan lebih banyak penguatan untuk arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial. Sejak jaman pra-kolonial hingga awal abad ke-21, kekerasan banyak digunakan dalam penyelesaian masalah (Nordholt, 2002). Dari sejarah juga dapat diketahui bahwa sejak jaman pra-kolonial masyarakat Indonesia lebih banyak hidup dalam kekangan penguasa politik, tidak bebas menentukan diri sendiri, hidup di bawah kekuasan raja-raja, dijajah pemerintah kolonial, gejolak politik masa Orde Lama dan menjalani represi di masa Orde Baru. Indikasi yang kuat menunjukkan bahwa berbagai warisan instingtif kebinatangan dari leluhur manusia Indonesia juga sangat mungkin menjadi rujukan. Ini dapat dilacak pada berbagai penggunaan lambang binatang untuk menunjuk orang-orang yang dianggap tangguh, misalnya harimau, ular, buaya dan banteng. Berbagai  pertikaian, kerusuhan, tindakan balas dendam, dan pertentangan antara golongan yang disertai bentrokan fisik yang memakan ribuan nyawa merupakan bentuk-bentuk perilaku impulsif dan irasional. Irasionalitas tampak jelas pada kecenderungan yang tinggi untuk percaya pada hal-hal yang gaib, bertebarannya ramalan-ramalan mitis, larisnya paranormal dan dukun, merebaknya media massa cetak yang bertopik mistik dan supranatural, terbitnya banyak buku kebatinan serta bermunculannya aliran-aliran spiritual dengan jumlah pengikut yang besar. Kondisi itu dapat dipahami sebagai upaya menyalurkan berbagai dorongan yang terepresi merujuk pada berbagai arkhetip yang bernilai anti-sosial.
Mentalitas Sosial vs Mentalitas Anti-Sosial
Dari sudut pandang psikologi, titik fokus kajian untuk memahami rentetan perilaku menyimpang di Indonesia disorotkan pada faktor mentalitas. Istilah mentalitas merujuk pada karakteristik mental yang didasari oleh norma tertentu, mencakup nilai (value), sikap, cara pikir, pola pengolahan informasi dan pengambilan keputusan serta orientasi tindakan. Faktor mentalitas ini perlu diletakkan dalam konteks masyarakat sebagai perwujudan kesepakatan hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan (well-being) bersama.
Hidup bersama berarti menyelesaikan seluruh persoalan melalui kata-kata, perundingan dan persuasi, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagai kumpulan orang yang ingin hidup bersama untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, masyarakat Indonesia membutuhkan ikatan antara warga negara. Perasaan senasib sepenanggungan, simpati dan kesetiakawanan yang didasari oleh konvensi-konvensi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan peraturan tanpa paksaan dan kekerasan. Oleh sebab itu mentalitas yang diharapkan terbentuk adalah mentalitas yang siap untuk bernegosiasi dengan kata-kata serta kompromi tanpa paksaan dan kekerasan. Sebut saja mentalitas semacam ini sebagai ‘mentalitas sosial’.
Namun, tak sulit kini untuk melihat indikasi-indikasi retaknya perasaan senasib, putusnya rantai simpati dan kendurnya kesetiakawanan di Indonesia. Kehidupan bermasyarakat di Indonesia seolah menjelma wilayah tak bertuan yang boleh diperlakukan semaunya oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Pemerintah berjalan sendiri, kelompok-kelompok rakyat dalam keragaman yang tinggi masing-masing bergerak sendiri. Begitu pula wakil rakyat di parlemen, seolah asyik sendiri dengan upaya pemenuhan kebutuhannya, sibuk dengan konflik-konflik internal partai sementara produktivitas mereka tergolong rendah.
Setelah sekian banyak konflik, tindak kekerasan, meningkatnya kriminalitas dan mengganasnya ‘pengadilan massa’ dalam 10 tahun terakhir, sederetan pertikaian sosial dan peledakan bom terjadi di Indonesia sejak 1 januari 2002. Salah satu puncaknya, 12 Oktober 2002 ledakan bom di Bali yang dianggap terbesar baik dari segi daya ledak dan jumlah korban maupun pengaruhnya terhadap Indonesia dan dunia. Setelah itu, di Makasar terjadi juga ledakan di sebuah restoran McDonald pada malam takbiran Iedul Fitri 5 Desember 2002. Beberapa bentuk kekerasan itu masih terjadi hingga tahun 2010. Tanggal 30 Mei 2010, lebih dari 80 rumah dibakar dalam sebuah bentrokan antar warga di Duri Kosambi-Cengkareng, Jakarta Barat. Perampokan bersenjata dilakukan terhadap Bank CIMB Niaga Medan pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh 16 orang bersenjata yang memakan korban 1 anggota Brimob. Tak lama setelah itu terjadi penyerbuan kantor Polsek pada tanggal 22 September 2010 yang memakan korban jiwa 3 orang petugas kepolisian. Seperti susul-menyusul dengan peristiwa kekerasan terdahulu, tanggal 26-27 September terjadi bentrok antar-kelompok di Tarakan yang memakan korban 5 orang, lalu tanggal 29 September bentrok antar-kelompok di Jl. Ampera Jakarta menewaskan 3 orang yang terlibat bentrok itu.  Selain kejadian yang disebut barusan, bentrokan aparat dan warga, polisi dan demonstran, juga antar suporter sepak bola, masih mewarnai kehidupan sosial Indonesia. Hingga kini, belum ada tanda-tanda kekerasan di Indonesia akan berhenti.
Tingkahlaku-tingkahlaku yang ditampilkan manusia Indonesia masa kini itu merupakan indikasi dari sebuah ‘mentalitas anti-sosial’ dalam pengertian cara berpikir sepotong-sepotong, tak punya simpati dan empati pada pihak lain, tanpa kesadaran bahwa kehidupan bersama dengan beragam orang perlu didasari tujuan mencapai kesejahteraan bersama, serta berpikiran tertutup terhadap kemungkinan perbedaan dalam ruang sosial. Mentalitas anti-sosial ini mengarahkan manusia-manusia dalam sebuah masyarakat untuk bertindak dengan cara pikir, norma dan aturan sendiri-sendiri, memaksakan kehendak partikular sebagai kehendak umum, berfokus pada pencapaian kesejahteraan pribadi atau kelompok kecil, menafikan kesejahteraan pihak lain, memaksa dan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Trust dan Solidaritas
Mentalitas sosial ditandai dengan menonjolnya trust (kepercayaan) dan solidaritas. Keduanya adalah unsur pengikat dan penjalin integrasi sosial. Trust adalah harapan, tingkahlaku jujur dan kerjasama yang muncul dalam sebuah komunitas tempat hidup sehari-hari dan didasari oleh norma bersama (Fukuyama, 1996). Norma-norma itu dapat berkenaan dengan nilai yang mendalam tentang hakikat Tuhan atau keadilan, tetapi bisa juga mengenai norma sekular seperti standar profesional dan panduang bertingkahlaku.
Percaya pada diri sendiri mensyaratkan kepercayaan kepada orang lain sebab seseorang selalu mengidentifikasi dirinya dalam kehidupan bersama; selalu membutuhkan dan belajar dari orang lain. Tak ada diri yang terisolasi sebab keberadaan manusia selalu merupakan keberadaan bersama manusia lain. Dunia manusia adalah dunia bersama. Percaya pada diri sendiri berarti percaya bahwa orang dapat menjadi dirinya sendiri karena orang lain akan selalu bersama membantu; bahwa kita tak pernah sendirian menjalani hidup ini dan orang-orang hadir bersama sebagai mitra.
Solidaritas diartikan sebagai proses pengambilan tanggungjawab hubungan kita dengan orang lain secara aktif dengan cara mengedepankan keragaman, otonomi, kerjasama, komunikasi, dan berbagi daya (Miller, 2004). Dalam solidaritas ada proses kolektif untuk aktif mengambil tanggungjawab terhadap hubungan antar anggota dalam kebersamaan. Ketika orang-orang mempraktekkan solidaritas, mereka mengenali bahwa nasib mereka terpaut dengan nasib orang lain.
Melalui solidaritas orang mengenali keragaman, otonomi, daya, dan martabat orang lain. Orang memahami perjuangannya untuk bebas dan penuh kegembiraan tidak terpisah atau berjarak dengan orang lain. Solidaritas berperan sebagai sebuah praktek etis dari perjuangan bersama. Solidaritas merupakan praktek pengasuhan berbagai nilai yang saling berkaitan bersama-sama dengan sesama manusia dalam sebuah komunitas. Nilai-nilai itu terdiri dari: kesatuan dalam keragaman, berbagi kuasa sebagai lawan dari menguasai orang lain, otonomi (baik pada individu maupun kolektif), komunikasi (dalam arti komunikasi horisontal, bukan dari atas ke bawah), kerjasama dan saling-membantu (perjuangan bersama), serta keberakaran pada yang lokal dan keterhubungan dengan yang global (Diephouse, 2006).
Trust atau kepercayaan terbentuk dalam kebersamaan yang anggotanya saling menghargai keunikan, daya dan martabat satu sama lain. Solidaritas memungkinkan kebersamaan seperti itu. Dengan solidaritas, seseorang memperlakukan orang lain sebagai orang yang peduli terhadapnya, sebagai tempat yang memadai untuk bertukar pikiran dan dimintai bantuan. Solidaritas menjadikan orang-orang saling percaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan solidaritas memfasilitasi hubungan saling-percaya.
Memfasilitasi Mentalitas Sosial
Menguatnya mentalitas anti-sosial dan melemahnya mentalitas sosial secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, model dan contoh dalam kehidupan sosial di masa kini dan lalu. Kedua, aktivasi nilai-nilai dan cara berpikir yang perannya dipegang oleh pendidikan dan pola asuh, termasuk melemahnya hubungan saling-percaya dan solidaritas. Ketiga, faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial.
Faktor model dan contoh perlu diintervensi dengan memperbanyak model dan contoh yang baik. Tak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh elit politik, selebritis atau pemuka agama masih banyak dianggap sebagai model yang patut ditiru. Sayangnya sejauh ini di Indonesia lebih banyak contoh yang buruk dari model-model yang buruk. Tokoh-tokoh politik banyak menunjukkan perilaku yang justru anti-sosial, saling bertikai, mementingkan kursi kekuasaan dan berkinerja buruk di parlemen. Pejabat dan mantan pejabat banyak diduga terlibat kasus KKN. Mereka yang dilabel sebagai selebritis banyak menampilkan gaya hidup non-produktif dengan kondisi rumah tangga kacau balau tanpa contoh-contoh konstruktif. Lalu, tak sedikit pemimpin agama yang menampilkan perilaku intoleran terhadap kelompok kepercayaan lain, memaksakan keyakinannya untuk dijadikan dasar kehidupan bernegara.
Intervensi sosial diperlukan untuk menghasilkan model yang baik dengan contoh-contoh mentalitas sosial. Pemilihan umum yang representatif yang memberi kesempatan terpilihnya tokoh-tokoh dengan mentalitas sosial jadi agenda penting untuk segera dilaksanakan. Acara-acara yang menampilkan selebritis berprestasi dan bermentalitas sosial perlu diperbanyak. Lalu dialog-dialog yang simpatik, terbuka, argumentatif dan harmonis antara tokoh-tokoh agama bisa diharapkan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi anak berpikir kritis dan terbuka, toleran dan berorientasi pada penyelesaian masalah menjadi agenda penting dan mendesak bagi Indonesia. Lewat pendidikan dan pola asuh yang memadai, mentalitas sosial dapat dikembangkan. Sudah banyak metode pendidikan dan pola asuh yang terbukti menghasilkan manusia-manusia yang tangguh dalam menyelesaikan masalah jamannya dan memberi kontribusi besar bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Artinya, rujukan bagi pelaksanaan pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi mentalitas sosial sudah tersedia, tinggal kehendak untuk memanfaatkannya.
Persoalan yang terberat usaha mengaktivasi nilai-nilai sosial terletak pada pendidikan. Kondisi pendidikan tahun ini tidak berbeda jauh dengan kondisi 10 tahun lalu seperti yang dilaporkan oleh Kenedi Nurham dalam Lorong Panjang; Laporan Akhir Tahun 2001 Kompas: tetap memprihatinkan.Perbaikan pendekatan, metode dan teknik belajar-mengajar dalam semua jenjang pendidikan formal perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sudah beberapa kali dibuat kebijakan perbaikan kurikulum dan metode pengajaran tetapi pada pelaksaannya praktek pendidikan formal masih juga menggunakan pendekatan dan pola-pola pengajaran lama, sementara pendidikan informal seperti dimatikan dari waktu ke waktu.
Pendidikan formal dan informal seharusnya dapat berperan besar menghasilkan manusia-manusia dengan mentalitas sosial jika memiliki visi yang sesuai dengan tujuan kehidupan sosial meningkatkan kesejahteraan anggota-anggotanya. Metode pengajaran yang menitikberatkan pada penyediaan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman yang konstruktif dan beragam, berorientasi pada penyelesaian masalah dan kesiapan untuk berbeda pendapat serta pemahaman sosial yang komprehensif perlu dirancang dan diterapkan. Pendidikan partisipatoris dalam komunitas-komunitas di berbagai wilayah perlu dirancang dan digalakkan untuk peningkatan kesadaran tentang perlunya metalitas sosial. Dengan pendidikan (formal dan informal) yang memfasilitasi siswa atau peserta didik untuk mandiri dalam memahami perkembangan-perkembangan di lingkungannya dilengkapi dengan kepekaan sosial dapat akan berperan besar dalam pembentukan mentalitas sosial.
Faktor pembiasaan yang terwujud dalam sistem hukum dan sosial tentu saja perlu diintervensi. Konsistensi dan keberlanjutan dari penerapan hukum, mekanisme reward (penghargaan) danpunishment (hukuman/sanksi) serta ketegasan dan kewibawaan aparat hukum sangat diperlukan. Begitu pula dengan norma-norma sosial dan kesepakatan hidup bersama yang didasari oleh kepentingan semua warga perlu ditegaskan. Masyarakat Indonesia yang plural menuntut curahan tenaga dan pikiran yang sangat besar untuk dapat merumuskan kembali kesepakatan hidup bersama dalam negara republik Indonesia. Pelibatan seluruh warga negara dan mekanisme partisipasi politik rakyat yang jelas dan efektif dapat memfasilitasi terbentuknya mentalitas sosial pada manusia Indonesia.***

Bagus Takwin 












Leave a Reply